Putih = Cantik?

“Gw pingin punya istri yang: berjilbab, keibuan, cantik, dan bisa masak.”, kata teman saya.

“Ane nggak tau, tapi di mata ane yang putih itu cantik.”, ujar sahabat saya.

“Kalau bisa sih saya nyari istri yang putih. Biar anak-anaknya nanti ganteng dan cantik. Perbaikan keturunan lah..”, lagi-lagi bukan kata saya.

“Shinzui, rahasia kecantikan wanita Asia.”, kata iklan kosmetik.

Sudah lebih dari sepuluh mungkin, perusahaan kosmetik yang punya produk pemutih. Mulai dari yang putih merona sampai putihnya wanita Asia. Kalau dulu sasaran pasarnya hanya wanita, maka sekarang pria juga menjadi incaran. Pertanyaan saya cuma satu, mengapa cantik itu putih?
Ah, nggak kok, cantik itu tidak harus putih. Okey, dibalik deh, mengapa putih itu cantik?

Ada dua alasan di otak saya:

1. “Putih itu cantik” adalah warisan penjajah. Lha kok…?? Sama seperti hidung yang cantik itu lancip. Bibir tipis itu manis, dan kalau bisa warnanya merah muda.
2. “Putih itu cantik” adalah doktrin perusahaan kosmetik untuk rumpun Melayu, si kulit sawo matang.

“Putih itu cantik” adalah warisan penjajah? Yup, secara tidak sadar, sejak mulainya penjajahan otak orang Asia-Afrika mulai terpengaruh bahwa ras Eropa adalah ras yang indah. Karena cantik itu indah, maka cantik adalah yang bertampang Eropa. Putih, mancung, dan bibir tipis.

Pun demikian dengan kategori langsing. “Leo Africanus”, sebuah novel dengan latar waktu keruntuhan kesultanan Andalusia, dengan tokoh utama Hasan. Sang tokoh utama menyebutkan bahwa bagi orang Maroko wanita cantik adalah bukan wanita yang langsing (tetapi juga tidak terlalu gemuk). Berbeda sekali dengan pria Andalusia yang berpikir bahwa langsing itu indah. Sederhananya “langsing adalah cantik” dan “adalah-cantik-adalah-cantik” yang lain merupakan selera bangsa-bangsa Eropa.

“Putih itu cantik” adalah doktrin perusahaan kosmetik untuk rumpun Melayu?? Ayo coba pikir, produk-produk semacam shinzui apakah juga dipasarkan di Jepang, China, Korea atau negara-negara mongoloid lainnya? Apakah Ponds (yang merah merona) juga dipasarkan di Rusia? Bukankah justru orang-orang kaukasoid itu rindu kulit yang gelap-coklat?

Hm…, hanya satu tujuan, yaitu agar barangnya laku. Kalau mereka menjual krim penggelap kulit kepada ras Melayu, ya tidak laku keras. Wong sudah dari sananya kita berkulit sawo matang. Kalau mereka menjual krim pemutih (atau penguning ya??) kepada ras Mongoloid yang memang sudah given berkulit kuning, ya si kulit kuning bakal malas membeli. Mungkin sebentar lagi akan lahir krim pemerah kulit ala Indian.

So IMO, cantik tidak harus putih dan putih tidak punya korelasi dengan cantik. Si sawo matang itu cantik, si kulit kuning pun tak kalah cantik, begitu juga dengan si kulit putih atau merah. Mereka hanya butuh cinta untuk jadi cantik (lho..).

“Bukan karena cantik lantas seseorang itu dicintai. Tetapi karena dicintai, dia jadi terlihat cantik” * .

Mari bersyukur terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Tak ada kulit yang sebagus kulit bangsa Melayu. Coba saja cari datanya.

*Diambil dari buku harian, dengan sedikit perubahan.