Sepenggal kisah putra-putri Dr. Setiadi Yazid.
Terimakasih Kepada Mas Heru yang mengijinkan saya untuk mempublikasikan ulang tulisan beliau.
===============================================================
Oleh Heru Susetyo
Sepintas lalu keduanya nampak betul seperti remaja Indonesia. Berwajah khas Jawa – Sunda, bernama Indonesia, lahir di Bandung, ber-ayah ibu orang Indonesia. Satu hal saja yang agak aneh, mereka tidak berbicara dalam bahasa Indonesia.
Lahir dari pasangan Setiadi dan Amy di Bandung, berturut-turut pada tahun 1981 dan 1984, kedua remaja ini kemudian ikut orangtuanya tinggal di Canada sejak tahun 1987. Walhasil, mereka menghabiskan masa kecilnya hingga kini di Canada, tepatnya di Kingston dan kemudian Ottawa. Bersekolah di sekolah Canada, bergaul dengan teman-teman Canada, hidup dan dibesarkan dalam kultur Canada, sampai kini. Lalu, apa istimewanya, bukankah banyak anak-anak Indonesia yang dibesarkan di luar negeri?
Wiwit dan Uki adalah fenomena yang unik. Wiwit alias Sawitri Mardhiyani, telah menggunakan jilbab ketika berusia sepuluh tahun, bahkan ketika sang Ibu sendiri belum berjilbab. Ketika itu ia masih tinggal di Kingston, Ontario. Tak ada satupun siswa di SD-nya yang berjilbab. Sehingga ketika satu hari ia mengenakan jilbab, guru-guru dan teman-temannya nyaris tak mengenalinya. Kenapa berjilbab? “Karena saya adalah muslimah, dan Al Qur’an memerintahkan muslimah untuk berjilbab. Itu saja, tak ada alas an lain,” jawab Wiwit dalam bahasa Inggris yang sangat fasih.
Dan kebiasaan bagus tersebut berlangsung hingga kini. Kini Wiwit tengah menanti kelulusan-nya di program undergraduate (setara S 1) Department of Electrical Engineering, Carleton University, Ottawa. Dan ia tetap berjilbab rapi dengan gamis yang panjang. Pun ketika ke kampus dan kemana-mana. Tak ada rasa sungkan ataupun malu. Bahkan, jilbab pun tak menghalanginya untuk aktif di kegiatan kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Wiwit aktif sebagai bendahara di Muslim Student Association (MSA) di kampusnya. Ia juga menjadi Pembina di Girl’s Guide (semacam pramuka di Indonesia).
Menjadi insinyur elektro di usia 21 tahun tentunya amat luar biasa. Apalagi, ia nyaris tak membayar uang kuliah sedikitpun untuk studinya ini. Karena prestasi akademiknya, ia mendapat beberapa beasiswa sejak awal kuliahnya. Begitu banyaknya hingga ia pernah menolak beasiswa tersebut dan mengalihkannya ke orang lain. Pertengahan tahun ini, Wiwit insya Allah akan melanjutkan studinya ke program Master dimana iapun telah mendapat beasiswa untuk program ini.
Demikian juga dengan adiknya. Uki alias Ahmad Lukman sejak high school telah aktif mengisi pengajian, menjadi khatib Jum’at dan mengikuti banyak halaqah internasional. Sejak high school ia memelihara janggut dan selalu menggunakan kufi (semacam peci haji) kemana-mana. Tidak ke sekolah, tidak ke kampus, tidak ke Supermal. Mengapa, bukankah tak ada keharusan bagi lelaki muslim untuk menggunakan peci? “Memang tidak. Saya hanya penasaran saja. Ibu dan kakak saya menggunakan jilbab, berarti saya juga harus punya identitas sebagai muslim. Akhirnya saya selalu pakai kufi. Dengan ini, saya akan mempunyai koridor, tidak bebas berbuat maksiat dan kegiatan lain yang tidak diridhoi Allah. Masa berjanggut dan menggunakan kufi bermaksiat juga,” ujar Uki dalam bahasa Inggris yang juga amat fasih.
Uki kini menempuh studi di school of journalism Carleton University di Ottawa. Rencananya, ia juga akan mengambil minor di bidang political science. Mengapa tertarik dengan jurnalistik dan ilmu politik? “ Saya melihat kaum muslimin lemah di bidang jurnalistik. Maka saya tertarik untuk turut memperkuat bidang ini,” ujar Uki santai.
Aktivitas da’wah duo Setiadi ini luar biasa untuk remaja seusianya. Ketika di high school Uki turut mempelopori shalat Jum’at di sekolahnya. Ia menghadap kepala sekolah dan minta disediakan tempat shalat buat murid muslim. Kini, ia hampir setiap pekan menjadi khatib Jum’at keliling di sekolah-sekolah (high school) di sekitar Ottawa. Maklum, Canada menerapkan kemerdekaan beragama sehingga sah-sah saja siswa menyelenggarakan shalat Jum’at sendiri di sekolah kendati sekolahnya bukan sekolah Islam. Uki juga aktif di MYO (Muslim Youth of Ottawa) dan di Muslim Students Association (MSA) di kampusnya. Sama halnya dengan Wiwit, jadwal da’wahnya juga padat sepekan penuh. Ia aktif minimal di tiga pengajian (halaqah) internasional di Ottawa setiap pekannya. Mereka tak ikut pengajian/ halaqah remaja Indonesia di Ottawa, karena memang tak tersedia.
Sekian lama berislam dengan tenang di Canada membuat Wiwit dan Uki sedikit shock ketika liburan ke Indonesia empat tahun silam. Mereka kaget melihat masjid kosong ketika waktu shalat fardhu. “Saya agak kecewa ketika datang ke Indonesia. Di Ottawa sini kami harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan tempat buat shalat di kampus ataupun untuk mendapatkan makanan halal (halal food). Di Indonesia semua serba mudah buat beribadah tapi ketika adzan masjid tetap saja sepi ,” ujar Wiwit. “Juga saya melihat banyak orang di Indonesia cenderung banyak membuang waktu. Mereka sering melakukan kegiatan yang tak jelas manfaatnya. Di jalan, di kota, dan di desa banyak orang miskin namun mereka sepertinya tak peduli. Juga untuk hal-hal yang sederhana, seperti, masih banyak yang belum mengerti bahwa tak boleh bersalaman dengan lawan jenis yang non muhrim.”, tambah Wiwit.
“Saya juga melihat bahwa banyak remaja Indonesia yang sangat terpengaruh dengan nilai-nilai negatif dari barat. Misalnya konsumerisme. Kemudian, banyak dari mereka yang meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang seharusnya mereka lakukan. Karena kurang peduli atau karena ketidaktahuan saya kurang paham, “ tambah Uki.
“Walaupun demikian kami tetap ingin pulang ke Indonesia suatu hari,” ujar Wiwit dan Uki. “Bagaimanapun kami orang Indonesia dan keluarga kami berasal dari sana. Bagaimanapun Indonesia jauh lebih baik daripada Turki misalnya dimana muslimah tak leluasa berjilbab. Juga, disana masjid amat banyak dan orang berpakaian relatif sopan. Tidak seperti di Canada, ketika summer orang mengumbar aurat seenaknya. “Namun, kami ingin kepulangan kami benar-benar bermanfaat bagi ummat. Untuk itulah saya terpikir untuk mengajar di perguruan tinggi di Indonesia setelah menyelesaikan Master atau Doktor saya, “ ujar Wiwit.
Apa rahasia duo Setiadi ini berani tampil beda di Canada? “Tidak ada yang istimewa sih. Kami hanya mewajibkan mereka untuk shalat berjama’ah di rumah setiap hari sejak kecil, Juga untuk berpuasa sunnah Senin – Kamis. Justru, saya yang sering lebih banyak belajar kepada mereka,” ujar Amy Setiadi, sang Ibu. “Mereka memang agak militan, ketika mereka pulang ke Indonesia saudara-saudaranya banyak yang heran. Mungkin berpikir mereka besar di Canada tapi kok militan ya, “ lanjutnya lagi.
Ada yang tak disebutkan oleh sang Ibu. Keluarga Setiadi Yazid – Amy Hamidah dapat dibilang adalah sesepuh pengajian Indonesia di Amerika Utara. Setiadi adalah Doktor di bidang Elektro yang mendapatkan gelarnya dari Queens University di Kingston dan Ami adalah adik kelasnya di Jurusan Elektro ITB yang kemudian sempat mengajar di almamaternya. Mereka juga aktif di komunitas dan pengajian internasional. Mereka juga ingin segera kembali ke Indonesia. Bisa dibilang, saratnya aktivitas da’wah suami istri ini amat berpengaruh terhadap perkembangan kedua putra-putrinya.
Akhirnya, sebelum pamit kami sempat menanyakan, apa taushiyah mereka untuk remaja muslim di Indonesia, Wiwit dan Uki serempak menjawab : “Just study the Dinul Islam then practice it !”
Heru Susetyo, dosen FHUI (wawancara dilakukan di kediaman ybs di Ottawa, 19 – 20 Maret 2003).
diem2 pak yazid dahsyat juga nih..
nggak nyangka ya, gung.
pak yazid yang misterius itu
putra putrinya hebat-hebat.
memang Islam bisa ngasih pengaruh yg
luar biasa ke penganutnya, ya.
subhanallah, luar biasa… di negeri orang tp tetap istiqomah…
salut!
@irvan, yanssp, Riana Garniati Rahayu
Padi, semakin tua, semakin merunduk.
Bener2 g nyangka kalau Pak Yazid se”sangar” ini 😀 .
sangar,bro!
subhanallah, deh..
bukankah hal nyang terberat adalah keistiQomahan?
@MeraLda
yg sangar bukan saya, tp mereka 😀 .
Saya sih hanya manusia biasa saja.
ass, ukhti. saya sangat kepengen kuliah di canada, gimana caranya? saya orang tak mampu.
wa’alaikumussalam. Mas, lagi nyapa yang punya blog? 🙄 Yang punya blog laki-laki lho…. 😀 . Fotonya ada di ujung kanan atas, dengan judul “Kuncen”. Hmm…, apa foto itu gambarnya mirip perempuan?
Ingin kuliah keluar negeri, kendalanya bukan di ekonomi kok. Banyak beasiswa keluar negeri tapi syaratnya adalah nilai akademis harus bagus. Beasiswa2 itu biasanya juga mengkover biaya hidup dll. Ini salah satunya http://www.kaust.edu.sa/. Rajin-rajin aja cari informasi.
Contoh beasiswa2 s2 ke luar negeri: Erasmus Mundus, Monbusho, Full Bright, dll.
Semoga bermanfaat.
Saya sampai terharu membacanya, dan Berdo’a Semoga anak-anak remajaku juga bisa memanfaatkan Ilmu yang telah dimilikinya sebagai amal jariah bagi mereka.
Kami sudah lama tinggal di Saudi, Bahasa Arab anak-anak sudah lumayan bagus dibanding Ummi dan Abinya tapi tidak ada lahan da’wah sebagai latihan bagi mereka untuk transfer Ilmu.
Wah, setuju. Ternyata Pak Setiadi yang misterius ternyata benar2 dahsyat…