Dalam senyapnya malam
Detik jam dinding semakin kencang
Seperti layaknya sebuah pelita
Yang hanya ada 1 di setiap rumah
Bila pagi tiba
Nyala pelita tak lagi jadi penting
Padahal bila senja datang
Hanya bulan yang mampu kalahkan sinarnya
Bertahun lalu, nenek sempatkan cerita
Betapa cantiknya purnama
Padang Bulan, katanya
Tapi itu hanya cerita
Seumur hidupnya, nenek tak pernah berhasil
membuktikan indahnya Padang Bulan padaku
Di Kota Surabaya
Purnama dan sabit hanya dibedakan oleh bentuk
Tapi kini aku tahu
Di tengah kuatnya dorongan di pintu air
Dan gemericik yang menerjang kaki
Terkadang dengan lolongan monyet
Dengkuran babi hutan
Dan gonggongan anjing di malam hari yang sedang berebut wilayah
Tuhan menunjukkan
Bulan Purnama memang benar indahnya
Sinarnya membantuku bebas melompat dari batu ke batu
Mencari tempat beradu
Untuk segera melepas beban
Tanpa takut terjatuh
Malam itu aku bisa ke sungai tanpa senter
—
#Bukan sastrawan, cuma penggemar Fisika yang lagi ngomongin polusi cahaya
#JUDUL: Tatibajo, Kebelet di Malam Hari
Haha
Luar biasa,.. menarik,..
Harusnya kata “kebelet” itu ditaruh di belakang aja, biar pada penasaran, ini puisi macam arahnya kemana gitu,.. hehe
Bener juga Mas. Saya ganti sekarang. Terimakasih :-).
nice poem…
i like poem very much!
heheh… ujung-ujungna kebelet 😀
tapi indah juga…..
btw apa kabar kak? 🙂
lucu juga mas,, kira2 dapat idenya dari mana ni hehe..
karena ngga ngerti, mau tanya dong, kan kayanya lagi ngomongin polusi cahaya. polusi cahaya itu yang kaya gimana? trus bagian di puisi yang artinya polusi cahaya yang mana mas?
#want to know…
mantaps, puitis abis nihhh 😀
Baby Pink
Sudah tidak kebelet menulis lagikah?