Judul asli tidak benar-benar tertulis seperti itu. Tapi kata “kalian” (merujuk kepada kami) saya rasa cukup tepat untuk menggantikan frasa aslinya.
Pagi ini, lagi enak-enak otak-atik intalio. Dan,… dink…! Sebuah email baru masuk mengejutkan saya (bunyinya tidak benar-benar seperti itu. Bahkan nyatanya, benar-benar tidak berbunyi π ). Intinya, email tersebut berasal dari seorang saudara seperjuangan yang tengah memprotes atau bahasa para melanisti-nya curhat kepada orang-orang yang dianggap berposisi lebih tinggi darinya. Dan, saya salah satunya (mungkin karena lebih tua kali ya…??).
Saudara saya tersebut bersama tim intinya sedang menangani suatu hal demi kepentingan manusia (dan percayalah, bahwa memang demikian adanya). Beliau merasa sendiri dalam mengemban amanah ini. Dengan beban yang diemban oleh tim inti, tidak seharusnya tim inti “dilepas” oleh anggota yang lain, terutama oleh orang-orang yang dianggap berposisi lebih tinggi dari mereka. Kira-kira begitulah yang saya tangkap.
Diskusi pun terjadi. Ada yang merasa senasib dengan sang curhater. Ada yang menanggapi dengan sabar. Ada tanggapan yang aga keras, “Waduh kayaknya ada yang lagi offense nih. Pertahanan yang baik memang adalah menyerang. Ga apalah kalau memang itu bisa membuat lo puas. (Gw juga pernah muda kok. Jadi paham lah…)”.
Sampai ada tanggapan yang datar-datar saja. Seperti tidak terjadi masalah. “Ente butuh apa dari kita? tolong jelasin.”
Kami semua mencoba untuk ngomong di muka. Berargumen secara jantan (kebetulan, yang sedang aktif berdiskusi memang para pejantan semua). Dan berani untuk menghadapi tanggung jawab secara laki-laki pula. Ya, mungkin salah satunya untuk menunjukkan bahwa kami memang benar-benar “Rijal”.
Malam hari, hampir semua dari kami bertemu muka. Mencoba berdiskusi layaknya keluarga yang sedang merencanakan piknik. Ternyata, diskusi itu enak. Tim inti yang tadinya merasa sendiri, sekarang tahu bahwa mereka masih punya saudara yang siap membantu. Yang bukan tim inti, sekarang tahu bagaimana cara membantu tim inti dengan efektif.
Malam tersebut (tadi malam sih..), nyatanya diisi oleh 50% banyolan dan sisanya baru diskusi sungguhan. Walau begitu, diskusi tersebut telah menghasilkan tak hanya rencana langkah teknis saja tetapi juga langkah-langkah strategis. Sungguh luar biasa arti sebuah pertemuan (meminjam frasa dari Semanggi V).
Dan alhamdulillah, insya Allah semua yang tadinya ngrumpel di hati, sekarang telah encer lagi. Seperti kata salah seorang saudara saya yang lain “Dan ini bukankah salah satu mekanisme conflict management? Semakin diserang dengan suatu masalah, satu tim akan semakin solid karena mereka bersatu menghadapi masalah tersebut.. Dan bukankah ini yang insya Allah terjadi pada kita? “. Memang benar, Maha Suci Engkau ya Allah. Manusia itu tempatnya khilaf. Karena itu kita masih disebut manusia. π
Ada beberapa hal yang saya rasa bisa disarikan dari peristiwa ini:
1. Ngobrol…cerita…ngomong, biar kita tahu apa yang lo mau.
2. Tanya…., biar kita ngerti apa yang mereka butuhkan.
3. Tunjukkan pada saudara kita kalau kita ada. Ternyata ini penting. Bila orang-orang sekitar kita tidak merasakan respon kita maka mereka menganggap kita tidak ada, meski menurut kita, kita selalu ada untuk mereka. Jadi, tunjukkan eksistensi kita secara aktif.
4. Ngomong di depan. Bukan ngedumel di belakang. Lebih baik debat, berantem, panas-panasan di depan, di saat diskusi daripada diam lalu menelikung dari belakang atau mengingkari hasil musyawarah.
5. Dan masih banyak lagi yang lainnya…..
Semoga bermanfaat bagi dunia.
Wassalamualaikum wr wb
gambar itu gung, memang terkesan beda ya…
saat kita di mabim dulu betapa banyak digembleng dengan kata-kata kesetiakawan.
memang sudah saatnya kita keluar, keluar dari semua kebingungan.
@Aulia
Memang terlihat beda Ul.
Memang, saat tertekan, manusia cenderung bersatu. Seperti teori sosiologi yg kita pelajari saat SMA. Salah satu penyebab persatuan adalah adanya musuh bersama dari luar.