Mikul Dhuwur Mendem Jero – Sebuah Peribahasa Kekayaan Bangsa*

//www.geocities.com/alongfais2005/blog/aku_pejuang.gif” cannot be displayed, because it contains errors.

2 Mei, hari lahirnya Ki Hajar Dewantoro, diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Kali ini, saya ingin berbagi mengenai budaya kita. Suatu warisan nilai-nilai yang seharusnya kita didikkan pada diri kita dan pada generasi penerus kita. Sekali lagi, saya ingin mengupas peribahasa. Salah satu peribahasa yang menjadi bagian dari 14 prinsip filosofi jawa.

Tiap peribahasa ini memiliki makna yg dalam. Tp apakah tiap peribahasa itu bisa dimaknai sesuai dengan zamannya? Atau bahkan maknanya bisa berubah, tergantung siapa yang memberi tafsiran? Bagaimana menurut Anda?

Saya yakin akan seru kalau kita berbicara ttg ini: witing trisno jalaran soko kulino. Tp kali ini saya mau membahas dulu apa makna yg ada dalam peribahasa Jawa: “mikul dhuwur “mendem jero”. Salah satu dari 14 prinsip filosofi jawa.

Menurut buku pepak boso jowo dan sapolo boso (ini bukan kitab suci orang Jawa kuno, ini buku pegangan untuk pelajaran Bhs Daerah Jawa saat masih SD-SMP 😀 ) adalah menghormati pemimpin atau keluarga dengan mengenang jasanya dan menutupi keburukannya. Jadi orang Jawa dengan “mikul dhuwurmendem jero-nya berusaha menanamkan nilai betapa pentingnya menjaga nama baik keluarga, kelompok, atau pun bangsanya.

Mikul Dhuwur

Frasa “mikul dhuwur” arti konotasinya kira-kira memikul/menjunjung setinggi-tingginya. Makna yang terkandung di dalamnya adalah hendaknya setiap anggota keluarga- suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya- menjunjung tinggi–setinggi-tinggnya nama baik kelompok di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan-keunggulan kelompok di depan khalayak ramai.

Konotasi Positif
Konsep “mikul dhuwur” seperti di atas rupanya juga dipake oleh negara-negara dalam lingkup hubungan luar negeri mereka. Ambil contoh Indonesia dengan “Visit Indonesia 2008” atau Malaysia dengan jargon “Malaysia truly Asia”. Itu contoh politik luar negeri dua bangsa rumpun melayu dalam bidang pariwisata.

Contoh lain di bidang pendidikan. Di kampus saya pernah tertempel dua poster promosi keunggulan Pendidikan Tinggi di Jerman dan Prancis. Bahkan Uni Eropa secara umum juga tidak mau kalah dalam menerapkan prinsip “mikul dhuwur” ini. Mereka menawarkan program beasiswa Erasmus Mundus untuk negara-negara berkembang–termasuk Indonesia. Penerima beasiswa ini akan mendapatkan donasi pendidikan sebanyak 21.000 euro setahun (woowww…). Mereka juga akan belajar minimal di dua negara uni eropa. Hakikatnya tetap, yaitu uni eropa (atau Ukhuwah Al Airupiah dalam bahasa Ust. Musholi 😀 ) ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan yang bagus, kesolidan yg tak diragukan, dan kepedulian yang luar biasa terhadap pendidikan.

Penerapan prinsip “mikul dhuwur” pada bidang pendidikan yang lain contohnya adalah gembar-gembor promosi beasiswa pemerintah Jepang yang bernama Monbukagakusho. Detailnya silakan cari sendiri. Hehehe…

Konotasi Negatif
Mikul dhuwur” juga diterapkan dalam bidang perfilman. Contohnya tiap seri film Rambo (jadi ingat Rambo IV yang sadis 😦 ). Apapun lawannya, berapapun jumlahnya, hollywood dengan Rambo-nya ingin menunjukkan bahwa Amerika adalah bangsa yang perkasa. Kita juga bisa melihat hal sejenis di berbagai film hollywood.

Kita coba kembali ke masa lalu. Di kala Soviet masih pantas disebut berjaya. Di kala itu pula dua adikuasa mencoba me-“mikul dhuwur” ketenaran kekuatannya. Adu uji coba rudal antara USSR dan USA bukan hal yg aneh waktu itu. Ingat pula siapa yg pertama kali mengeksplorasi ruang angkasa?! Ya… seorang kosmonot Soviet. Sebuah usaha dari pemerintah Soviet untuk me-“mikul dhuwur” martabat bangsanya.

Amerika Serikat tak mau kalah. Bila Soviet menjelajahi langit, maka Amerika menjelajahi bawah laut… yang kala itu sama misteriusnya dengan ruang angkasa. Tujuannya pun sama, “mikul dhuwur” bangsanya.

Ribuan contoh akan kita temukan tentang usaha suatu negara untuk menjunjung tinggi martabat rakyat atau pemimpinnya. Tentu masih ingat dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Pembangunan, Panglima Besar, dll. Bahkan tujuan pembuatan Curiculum Vitae pun adalah untuk “mikul dhuwur” di pemilik CV.

Dan… orang Jawa membahasakan itu semua dalam frasa “mikul dhuwur“. (mungkin di budaya lain prinsip seperti ini juga ada, hanya saja saya tidak tahu).

Mendem Jero

Beralih ke pasangan “mikul dhuwur“. Frasa “mendem jero” kira-kira arti konotasinya memendam/mengubur sedalam-dalamnya. Memendam/menutupi segala keburukan, aib, dan kelemahan. Dalam konotasi positif, “mendem jero” dimaknai sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat, atau jenis kelompok manusia lainnya.

Mendem jero” dalam konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang (yang seharusnya transparan).

Berbincang mengenai tutup-menutup keburukan, saya jadi teringat istilah ghibah. Saya yakin banyak yg tau apa itu ghibah. Ghibah dalam bahasa Jawa artinya ngrasani. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan membicarakan keburukan orang. Dalam kaidah bahasa Arab, ghibah itu tidak sekedar membicarakan keburukan orang. Disebut ghibah ketika orang yang dibicarakan tidak mau keburukannya diketahui orang lain atau tujuan pembicaraan tersebut bukan untuk mencari solusi.

Oleh karena itu, bukan disebut ghibah bila membicarakan orang yang bangga dengan keburukannya (agul ku payung butut kata orang Sunda) atau setidaknya tidak malu akan keburukan tersebut. Atau bila kita membahas keburukan tersebut untuk mencari solusi.

Kembali ke “mendem jero“. Prinsip “mendem jero” mengajarkan pada kita menutupi aib yang kita miliki. Di mana aib tersebut memang tak perlu diketahui orang lain. Misalnya mungkin Anda (bukan saya… hehe :mrgreen: ) masih suka ngompol pada umur setua ini. Aib tersebut tak perlu diketahui orang lain. Apa lagi ditulis di CV :mrgreen: . Membohongi masyarakat kah??! Tentu tidak. Kita tidak berbohong. Kita hanya tidak mengatakan seluruh kenyataan. Toh kenyataan tersebut tidak “merugikan” siapa pun.

Jadi teringat email dari seorang saudara perempuan di milis csui05 kemarin. Email tentang “keharusan” menutupi aib. Email tersebut menyebutkan bahwa Rosulullah (semoga sholawat dan salam tetap tercurah pada beliau) berwasiat kepada Saidina Ali bin Abi Tholib ra. Dalam wasiat tersebut (pada salah satu bagiannya) Rosulullah SAW mengatakan bahwa ada 3 ciri orang yang JUJUR:
1. Merahasiakan ibadahnya.
2. Merahasiakan sedekahnya.
3. Merahasiakan ujiannya yang menimpa kepadanya.
Catatan penulis : Karena orang jujur kemungkinan kecil menerima adzab maka keburukan-keburukan yang dimilikinya merupakan bagian dari ujian. Dan… sanad dari hadist tersebut tidak dicantumkan. Jadi meskipun (menurut saya) makna dari hadist tersebut luar biasa, hadist tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk mengambil keputusan.

Inti dari menutup aib (mendem jero) adalah jangan ceritakan keburukan (kita, teman, keluarga) pada orang lain yang tidak berkepentingan dengan hal tersebut. Salah satu dua contoh yang berkepentingan di sini misalnya orang yang kita yakin bisa memberi solusi terhadap aib tersebut atau kepada orang yang akan kita pinang untuk jadi pasangan hidup(kan terus terang luar dalam… 😀 ).

Mikul dhuwur mendem jero“. Adalah salah satu produk bangsa kita yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi kehormatan dengan mengemukakan keunggulan dan menutupi keburukan. Saya yakin bahwa di setiap akar budaya suku manapun di Indonesia pasti tersimpan nilai-nilai yang luar biasa. Adakah yang mau berbagi ilmu tentang nilai-nilai itu??

Nah, kalau begitu. Mulai sekarang mari kita “mikul dhuwur “mendem jero” marang bansane” — menjunjung tinggi kehormatan bangsa kita-Indonesia. Saatnya tunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang besar. Ok…!

Wassalamualaikum wr wb.

*Mulai ditulis saat nungguin demo mahasiswa DPBO, diperbaiki di sela-sela tugas PPL dan diakhir saat menunggu sholat Jumat.

24 thoughts on “Mikul Dhuwur Mendem Jero – Sebuah Peribahasa Kekayaan Bangsa*

  1. wah…
    tulisan sing “berbobot” iki Gung!!! 😆

    tapi nek menurutku…

    @ mikul duwur :
    menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan adat ketimuran, juga budaya-budayanya, plus sifat asli bangsa Indonesia yang suka menolong & ramah (dari buku PPKn iki!! :lol”)

    @mendem jero :
    menanamkan sifat2 baik tadi pada anak cucu (generasi selanjutnya), bukan memendam / merahasiakan kejelekan.

    puasss?!!! puas?!!!

  2. Yang witing trisno jalaran soko kulino gung ! yang itu !! dibahas gung ! :mrgreen:

    Hmm… gitu ya. Aq gak pernah denger soal itu soalnya… Tumben gung. Sempet-sempetnya nulis gini di sela-sela kegiatan 😀

    Oke…

  3. iya, setuju tuh ma Agyl.. (wadow!! njambale metu..)

    sik, sik, sik..
    urung paham : peribahasa sing mikul dhuwur iku dihubung2no karo witing trisno ??

    haha, iki dadi blog e arek suroboyo kabeh yo..
    boso ne khas…

  4. @wenny
    Hahaha…, tulisanku terlalu panjang ya…., sampe males bacanya 😆 , maaf-maaf. Insya Allah akan lebih baikkedepannya.

    @Gyl
    Hmm…., yg “witing trisno jalaran soko kulino iku”, aku lagi males nulis yang berbau kaya gitu. Insya Allah lain kali. 😛
    Mungkin terlalu lama bergaul dengan software engineering, desain dan analisis algoritma, dan grafika komputer. 😆

    @realylife
    Siii….p Mas..!
    Blog ente manteb2 tuh. 😀

    @Meralda
    Hehe…, arek sby?? mungkin karena kali ini bahasannya sangat berbau jawa. 😀
    Kalau hubungan yang “trisno”2an itu sama mikul dhuwur..??? Pikiranku juga belum nyampe…. hehehe

    @syarizal
    Terimakasih Mas. Sy juga minta saran, saya yakin tulisan saya masih banyak kurangnya. 🙂

    @Krisna
    Klo curhat ke psikolog, insya Allah gpp. Kan tujuannya baik dan untuk menyelesaikan masalah. Bukan untuk berbangga akan keburukan atau tujuan buruk lainnya. (sok ngerti…. 😛 )

    Anyway, tengs ya atas komentar antum antuna (iki bohoso opo?? 😆 ) semuanya ..!

  5. Sebetulnya makna “MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO” (selanjutnya disingkat MDMJ) telah diplesetkan pada masa Soeharto. Makna sejatinya dari Mikul Dhuwur Mendhem Jero adalah sebagai berikut:
    Sebagai seorang anak yang memiliki sifat MDMJ hendaknya berusaha menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya. Misalnya menjadi pejabat yang tdk korup, menjadi pengusaha yang sukses, dan lain sebagainya. Sehingga dengan keberhasilan sang anak tersebut nama orang tua akan ikut terangkat. Apabila kebetulan sang orang tua memiliki kekurangan akan tertutup oleh keberhasilan sang anak tersebut. Sedangkan apabila sang orang tua tidak memiliki cacat, maka keberhasilan anak adalah merupakan keberhasilan si orang tua. Masyarakat akan mengatakan: o, pantaslah dia menjadi pejabat yang baik, karena orang tuanya pun orang yang baik. Jelas? Tks.

    Wah…, terimakasih atas penjelasannya. Sudut pandang yang menarik 😀 .

  6. soal mikul jero mendhem duwur..

    Menurutku iku sah2 wae sih lan perlu. Tapi konteksnya beda dalam hal ini, mikul jero mendhem duwur iku lebih cocok untuk perenungan kita sendiri.

    Mikul jero
    Berusaha melupakan kebaikan dan keunggulan kita dibanding dengan orang lain. Rasulullahpun pernah bersabda yang intinya dikala kita berbuat baik alangkah baiknya tidak diketahui orang lain (Dikala tangan kanan berbuat baik, alangkah baiknya tangan kiri tak mengetahui). Hal ini dapat mengurangi kemungkinan timbulnya riya’ di hati. Ini akan menjadi cambuk bagi kita untuk selalu berbuat lebih baik karena kita merasa belum pernah berbuat baik untuk orang lain.

    Mendem duwur
    Berusaha selalu merasa/mengungkapkan keburukan2 kita daripada orang lain. Ini sebenarnya salah satu sifat yang dicontohkan oleh ulama2 salaf (kuno) dulu. Dengan orang yang lebih tua kita harus merasa lebih buruk daripadanya karena beliau pasti lebih banyak waktu hidup di dunia sehingga waktu untuk berdzikir dan ibadah kepada Allah lebih banyak daripada kita. Dengan orang yang lebih muda kita juga harus merasa lebih buruk karena waktu kita hidup di dunia lebih banyak daripada orang tersebut sehingga perbuatan2 maksiat yang kita lakukan juga lebih banyak. Dengan orang kafirpun kita juga harus merasa lebih buruk karena mungkin saja si orang kafir tersebut di akhir masa hidupnya dia bertaubat dan diterima taubatnya sehingga bisa masuk surga.

    Mungkin itu salah satu sudut pandang lain dari Mikul jero mendem duwur..

    Monggo silahkan ditanggapi.. 🙂

  7. @hadaiq

    Meskipun peribahasa itu ga ada dalam peribahasa Jawa, tapi mangstab Mas 😀 . Gimana kalau didaftarin sebagai peribahasa baru? Ada ga ya majelis atau dewan yang berwenang mengenai hal ini??? (^o^)?

  8. wehehehe..
    sayang g ono dewan ato lembaga sing bener2 nguri2 budoyo jowo.. Budoyo jowo sayange isih termasuk budoyo lesan lan durung mlebu budoyo tulisan… Sayang akeh sastra2 lan kekayaan budoyo jowo akeh sing g terawat.. Lan saiki poro generasi enompun susah golek reference mengenai budoyo jowo…

  9. Mbah Harto kok nggak disebut dalam tulisan ini? Bagian dari kampanye “mendem jero” juga kah?

  10. berjalan dari sudut ke sudut,..,.. tetap semangat ya,… menjadi penyemangat kita dalam mencapai inti itu,..

    wokey..

    Tetapkan tujuan kita untuk mampu memikul tujuan dan jangan membuang ilmu yang kita dapat tetapi mengubur masa lalu itu untuk kita dapat bangkitkan mereka sebagai referensi dan perbaikan kesalahan,..

Leave a reply to wennyaulia Cancel reply