Saat wacana “pornografi” mencuat, saya justru memilih untuk membahas budaya. Sudah cukup banyak saudara-saudaraku (Chandra, Kamal, Charles, dll) yang menguliti wacana ini.
Nusantara begitu kaya akan peribahasa. Dan lebih kaya lagi karena tiap-tiap budaya daerah memiliki peribahasa sendiri-sendiri. Mantabz…! Apalagi telah dikenal sepanjang zaman bahwa rumpun bangsa di nusantara adalah masyarakat dengan budaya lisan yang kuat (bukankah kita lebih suka berdiskusi dari pada membaca??).
Saya hanya tulis beberapa (peribahasa) dari beberapa (budaya). Jawa, Sunda, Minang, Ambon, Aceh, Melayu, Tionghoa, Makasar, Madura. Itu saya dapat dari teman atau baca artikel orang.
Orang Sunda bilang “cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok” – air yang menetesi batu, lama-lama membentuk cekungan/lubang. Kalau ditafsirkan menjadi sesuatu yang sulit bila dilakukan terus menerus akhirnya berhasil juga. “Agul ku payung butut”: bangga dengan keburukan sendiri.
Pernah dengar peribahasa “witing trisno jalaran soko kulino” (tau lah… ). “Alon-alon angger kelakon”, cukup jelas… 😀 ? “Adigang, adigung, adiguna” : orang yang menggunakan keunggulannya–kekutan, pangkat, keindahan fisik, kekayaan untuk menyelesaikan masalah. ”Dhemit ora ndulit, setan ora doyan” : perbuatan yang sangat buruk sehingga demit dan setan pun tak mau melakukan 😀 .
“Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” : orang yang luar biasa berharga. Dirinya lebih berharga dari harta, lebih bermanfaat dari pada ilmu apapun, berani bertarung meski sendiri karena membela kebenaran, dan kalau menang maka menang tanpa merendahkan martabat lawan. Sebenarnya dua yg pertama itu pepatah sih 😀 . Itu kata orang Jawa.
Orang Minang punya prinsip “alam takambang jadi guru”: pribahasa utama orang Minangkabau yang memiliki arti bahwa orang Minang harus DINAMIS dan bisa belajar dari alam. Orang Minang harus bisa menyesuaikan dan mengembangkan diri dimana saja ia berada. Baik di Rantau atau pun di Kampung orang Minang dituntut bisa menjadi Rahmatan Lil Alamin 😀 .
Ada juga peribahasa Aceh yang disarikan dari semangat jihad “udep saree, matee sahid”: hidup mulia atau mati sahid 😎 . Dan sebuah nasihat tentang budaya “matee aneuk meupat jrat, matee adat pat tamita”: anak mati ada kuburannya, adat mati tidak ada gantinya.
Orang Melayu pun tak mungkin ketinggalan. Mereka punya “Linggi diserang, Riau yang alah”: menyerah tanpa berjuang ❗ . Dan peribahasa yang sudah tenar di telinga: ”Lidah tidak bertulang”. 😆
Budaya Tionghoa pun kaya akan peribahasa. Salah satunya yang sudah di-Bahasa-Indonesiakan : “Lebih baik jadi mulut ayam, daripada jadi ekor sapi“. Maknanya lebih baik jadi orang penting/bermanfaat di kelompok/organisasi kecil, daripada jadi orang kecil di kelompok/organisasi besar. Mungkin ini yang memotivasi orang-orang keturunan Tionghoa untuk lebih memilih berwiraswasta/wirausaha dari pada jadi profesional.
Rakyat Gowa, Makassar punya prinsip yang menurut saya sungguh luar biasa. “Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tamassaile punna teai labuang”: bila perahu telah kudorong,layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutujun. Dan prinsip keberanian orang Makasar “teai mangkasara’ punna bokona loko”: bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. 😎
Ambon pun tak ketinggalan. Mereka bilang “labu jua ada hati!” (Sekeras-kerasnya orang Ambon, mereka masih punya nurani ) 🙂 .
Saya tau dua peribahasa Madura : “lebbi bagus pote tolang katembang pote matah”. Ini kalau di-Bahasa-Indonesiakan menjadi lebih bagus putih tulang dari pada putih mata (lebih baik mati dari pada menanggung malu) 😎 . Yang kedua “asel ta’ adhina asal”: meski kaya tetapi tetap bersikap sederhana.
Budaya yang lainnya? Wah, maaf. Pengetahuan saya masih sangat minim. Kalau peribahasa yang saya tulis tersebut ada yang salah, tolong dibenarkan. Maklum, yang saya benar-benar pahami hanya peribahasa Jawa. Peribahasa lain saya dapat dengan bertanya pada teman atau lihat dari artikel orang. Saya belum berani membahasnya. Saya tertarik untuk berdiskusi mengenai masing-masing makna peribahasa di atas.
Luar biasa kan prinsip yang dimiliki bangsa Indonesia. So, kita mesti bangga dan mari jadikan diri kita sebagai salah satu batu bata yang turut membanggun kebesaran Indonesia.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Merdeka!
Tiap peribahasa memiliki makna yg dalam. Dan bolehlah pula kalau kita tidak sepakat dengan nilai yang dikandungnya. Tapi apakah tiap peribahasa itu bisa dimaknai sesuai dengan zamannya? Atau bahkan maknanya bisa berubah, tergantung siapa yang memberi tafsiran? Bagaimana menurut Anda?
Wah, luar biasa memang budaya bangsa ini… Tapi, kayaknya makin lama makin tak terdengar yah… 😦
~bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh…
~bhinneka tunggal ika
@Charles
Benar apa yang Anda katakan Bung Charles 😎 .
Kitalah yg harus mempertahankan. Sayang kan budaya dg nilai tinggi, hilang begitu saja. Ky peribahasa Aceh “matee aneuk meupat jrat, matee adat pat tamita”. 😦
Hmm… memang budaya lisan ya Indonesia ini ? Memang sepertinya besar. tapi sedikit catatan tentang peradaban yang berkembang di Indonesia.
Hmm.. gini gung, aku pernah baca tulisan orang : bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis ( aku lupa linknya dimana.. )
Intinya… bangsa-bangsa dengan peradaban yang besar ( eg. mesir, china, persia, dll ) adalah bangsa dengan kebudayaan tulis. Karena catatan peradaban mereka ada, bangsa mereka dikenal secara luas…
Berbeda dengan hanya budaya lisan yang cenderung diingat… orang lain tidak bisa “membaca” tentang budaya kita. Masalah peribahasa ini, agar tidak hilang ya itu salah satu caranya : Ditulis
Agar terdapat catatan yang dapat ditinggalkan…
Yups,… bangsa yang besar adalah bangsa yang mencatatkan sejarahnya. Saya setuju Gyl.
Ayo Gencarkan Gerakan Menulis…. ! 😀
Dengan tulisan, ide kita akan lebih “abadi”, mudah didistribusikan, dan terjaga originalitasnya.
Agung sudah memulainya dengan menuliskannya di blog ini… Mari kita lanjutkan, supaya budaya di bangsa Indonesia tercinta ini bisa abadi… 😀
😐 *mikir mau nulis apa*
“Ayo Gencarkan Gerakan Menulis…. ! 😀 ”
hahha… gaya, gaya… hayoooo… 🙂
keren juga nih tulisan,
btw, saya tanya ya..
tau cara bacanya nggak??
kan peribahasa yang tertera banyak pake bahasa daerah..
hehe… lain kali posting di blog ini ttg kamus instant seluruh suku bangsa Indonesia ya..
kan sesuai tuh kata pak agyl..
DITULISkan..
nama ada coba di Toko buku, kamus bahasa daerah?
adanya mah bahasa negara..
ehem,,
maksud saya.. kamus instant bahasa daerah seluruh suku bangsa indonesia…
@Charles
SEMANGKA ! (semangat kawan !)…. hehehe…. sy contek kata2 ente ya…
@Meralda
Kok, alamat web nya ganti2?? Apa bener ini Alda?
Wah, ide tentang kamus instant bahasa daerah sangat menantang tuh…!
Sapa… sapa yang mo bikin???
Kalo bacanya, cuman sebagian yang ngerti.
Soalnya temen2 yg jadi narasumber ngomongnya cepet banget. Jadi ya sy suruh tulis aja kata2 nya.
bener.. ini alda.
makanya saya bilang, kadang cape’ juga posting comment di WP, cz kudu ngetik ulang alamat web saya..
ya siapa lah yg mau bikin..
yg mw jadi pioner, jauh lebih hebat malah..
Boleh tuch… bikin kamus digital aja, kayaknya lebih enak.
Tapi yang jadi masalah kan memang analisis kebutuhan, bagaimana bentuknya. Kalo di buat software apakah pakai audio untuk pengucapannya ? atau dikasih cara bacanya ( seperti di kamus-kamus bahasa inggris ).
Terus yang jadi narasumber siapa aja. Dan benernya yang penting : siapa yang mau. Kembali ke awal… karena memang di Indonesia jarang ada orang nganggur mau iseng buat kayak gituan. Lengkap lagi…
soalnya kalo mau dibuat sekalian lengkap dan detail. Mungkin jalan awal mengusulkan ke pemerintah ( departemen kebudayaan ? ) yang mungkin memegang resources tentang peribahasa secara lengkap, dan mungkin bisa berupa proyek yang setidaknya bisa menghasilkan uang.
Atau kalo mau orang-orang yang memang concern sama hal ini, bisa ngumpulin data pelan-pelan, terus bikin konsep kamus digitalnya pelan-pelan, sambil pelan-pelan ngoding dan ngerancang…
hmm.. jujur aja, aku kurang concern 😐
Mungkin kalo membantu ngerancang mungkin aku masih mau ( sebagai programmer.. ) tapi menginisiasi untuk membuat itu kayaknya sulit.
Eh.. bentar. Nanti aku nulis panjang gini ternyata udah ada softwarenya… udah di cek belum ? 😕
@Gyl
Dulu pernah liat kampus digital bahasa Jawa. Tp isinya belum banyak. Dan sekarang dah lupa alamatnya.
Dan bener kata Agyl. Jarang ada orang Indonesia yang berpikir untuk ngembangin proyek ini bila tidak ada sponsornya. Hal ini sy pikir wajar-wajar saja.
Sponsor mau membiayai bila mereka menganggap suatu proyek akan memberikan manfaat.
Maka harus dianalisis dulu nilai kebermanfaatan software ini apakah lebih tinggi dari efort yang keluar untuk menciptakannya.
Jadi ingat penelitian ttg WordNet😛 .
Happy Writing.
Jd inget LKTM, PKM, Penelitian, ImagineCup 😆 .
mo komen, pribasa tresno jalaran seko kulino tu gak selamanya benar
kadang nek wes saking kulinonya jadi malah wes mati rasa
hehehe….
kunjungan balasan….
lam knal, gung 🙂
@wennyaulia
Silakan komen Mba’… 🙂
Tolong diberi saran dan kritik juga.
Sy kan masih harus banyak belajar.
Komen wenny tak translete nang B. Indonesia yo :
“pribasa tresno jalaran seko kulino tu gak selamanya benar
kadang kalau sudah terlalu terbiasa jadi malah sudah mati rasa
hehehe….”
Betul itu, klo sudah terbiasa bergaul, perasaan kita bisa saja sudah mati (udah g nyetrum lagi.. ) untuk beberapa orang.
Dan… ini jadi g enak. Masa hilang selera sama lawan jenis. Jadi g mak nyus…
Jadi, bagusnya kalau bergaul ya ditahan-tahan aja…
biar mak nyus nanti kalo dah nikah 😀 😀
@ agyl:
“Sponsor mau membiayai bila mereka menganggap suatu proyek akan memberikan manfaat.”
nah, judul blog ini kan “sebuah kekayaan bangsa..”
revolusi yang baik untuk diwacanakan, tinggal gimana kitanya aja yg termotivasi.
kayak saya deh, mana bisa sih bahasa jawa alus.. padahal dariiiii SD- SMP pengangannya pepak bahasa jawa, tapi cuma ngapalin apa2 yg kurang aplikatif..
padahal yg saya tau, ketika terjun berobat n mengabdi ke daerah2 (ke masyarakat),kan baiknya paham ttg daerah yg dituju..tmsk bahasa..
biar lebih ngena gitu..
lha, saya..??
aduuh, haduuuh…
@Meralda
Apalagi aku da… 15 tahun di Balikpapan. Sampai sini cuma tau bahasa Jawa kasar. Mana nyambung blas kalo di ajak ngomong alus…
1. Menulis opini atau artikel setiap bulan berdasarkan kompetensinya tentang permasalahan masyarakat yang dipublikasikan di media kampus dan media nasional .
2. Mampu membuat dan mengelola jaringan yang kokoh dan luas meliputi cendekiawan, akademisi, birokrat, pengusaha, LSM, militer, pers dan ulama Berperan aktif dan memimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Memiliki sifat kreatif, inovatif, mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain ….
nah, keren juga nih klo dibudayakan…
budaya BERTINDAK
@Alda
Rasanya, saya pernah dengar kata-kata itu.
PPSDMS…
inget?
Hehehe…
Jelas ingat. Karena tiap bulan, laporan untuk semua itu bakal ditagih sama pengurus pusat. Ini
tidakenaknya anak PPSDMS regional I Jakarta. Yang nagih adalah pengurus pusat. 😀Naaaaah, hasil tulisan tiap bulan diposting di blog ini aja, napaa…
pada intinya, sama2 dipublikasikan..
gitu…
hmm…., matur nuwon sarane.
Engko ae, nek menurutku cocok gawe nang blog, baru tak post.
wah kebetulan baget qu da tugas tentang pepatah jawa Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.tapi di blog ne kug cuma dikit masalah tu..
tolong dunk lo da info soal pepatah jawa tu kirim ke emailQu
dateline ne wat besuk selasa
tanks lo mau bantuin
Okey.
Klo saya nemu penjelasan baru, insya Allah saya informasikan ke email tersebut.
she_fa178@yahoo.co.id
pepatah madura : menang penjara, kalah mati . .
Als erstes Unternehmen in Deutschland hat die ABN Braun AG in Zusammenarbeit mit der Firma
LuvTec GmbH aus Hamburg einen Windpark für Kleinwindanlagen auf dem Firmengelände in Neuenstadt am Kocher errichtet.